Merangkai Hikmah, Menuliskan Pengalaman
O
leh Syamsuwal Qomar*)
Jika ada istilah, “pengalaman ialah guru”, kenapa tidak
menuliskannya?
Sebagai pembelajar dalam dunia menulis, sudah semestinya
saya memiliki rukun yang harus ditunaikan. Satu di antara rukun itu ialah,
mengunjungi toko buku. Tempat yang bagus bagi saya untuk “bertapa”. Memancing
lahirnya ide-ide menulis sesuatu.
Nah, akhir pekan kemarin, saya mengunjungi Gramedia Duta
Mall di Banjarmasin, dan menemui sebuah buku dengan kover unik yang menyita
perhatian saya. Buku yang akhirnya saya beli. Buku Kicau Kacau yang ditulis Indra Herlambang, presenter Insert di
Trans TV.
Ini ialah buku yang membingkai pengalaman pribadi Indra.
Berkisah tentang pengalamannya dalam bekerja, bergaul, sampai kisah kehidupan
bersama keluarganya. Ada hal-hal yang menurut saya menarik. Tentu saja, saya
membelinya bukan karena saya penggemarnya, apalagi acara gosip. (Atau diam-diam
sebenarnya begitu… ha-ha-ha). Yang menarik saya pastinya, ialah isinya.
Membacanya memberikan tanda tanya bagi saya. Andai diberikan
pengalaman hidup yang serupa, mampukah saya melakukan hal sejenis? Menguntai
rentetan-rentetan peristiwa, memaknainya, hingga menuangkannya dalam bentuk
tulisan yang mengubek-ubek emosi. Membuat pembaca tertawa, terenyuh, sampai
merasa geram akibatnya.
Ya, itulah yang sempat saya rasakan. Sungguh buku yang
menarik, ditulis dengan bahasa populer. Malah cenderung seenaknya. Namun, dalam
tulisannya yang renyah. Dalam cerita tentang pengalamannya yang paling
sederhana. Secara unik, mengajak saya menyelami diri. Menyadari akan banyaknya
kesalahan dan keterbatasan saya sebagai manusia. Hingga memotivasi saya untuk
menjadi makhluk yang lebih baik.
Buku Kicau Kacau,
ialah satu buku yang saya kira berhasil membawa misinya. Menyampaikan hikmah
dari pengalaman yang dijalani penulis. Dalam pustaka pribadi, saya mempunyai
buku-buku lain yang memiliki “sense” sama. Buku-buku itu “terserak” dari
berbagai tema. Ada yang intinya mengusung motivasi. Ada pula yang dalam tataran
pengembangan diri, perubahan, pendidikan, menulis, sampai bersifat jenaka.
Buku Recode “Change Your DNA” Rhenald Kasali, menyisipkan
pengalaman-pengalaman sang dosen. Menjadi contoh dalam manajemen perubahan.
Buku “Room To Read” John Wood, mengisahkan bagaimana penulis meninggalkan
Microsoft dan membangun 7.000 perpustakaan di dunia. Sangat inspiratif! Dan,
siapa yang tidak tahu dengan buku “Ganti Hati” Dahlan Iskan? Buku yang berkisah
tentang pengalamannya menjalani perawatan transplantasi hati. Buku yang menurut
saya, “renyah” dan kaya akan rasa.
Saya kira, kehadiran buku-buku itu sudah cukup menjadi
bukti. Kalau pengalaman hidup jika dimaknai secara khusus, bisa menghadirkan
hikmah tersendiri. Dan jika hikmah-hikmah itu bisa dirangkai dan dituliskan.
Whew, Itu bisa menjadi pengetahuan, bahkan pembelajaran bagi banyak orang.
Saya meyakini, setiap individu yang menyukai sebuah bidang,
atau berprofesi dalam bidang tertentu, pasti mengalami banyak hal yang
berkesan. Dari hal-hal yang menggembirakan sampai menyedihkan. Hal-hal yang
kemudian yang menjadi guru. Modal dalam menjalani hidup selanjutnya untuk lebih
mengembangkan diri.
Misalnya, seorang sales yang seiring lamanya bekerja,
memiliki banyak pengalaman kala menunaikan tugasnya. Bagaimana ia memutuskan
menjadi sales? Bagaimana saat ia menghadapi pelanggan? Merayu pelanggan untuk
membeli produk yang ia tawarkan. Sampai akhirnya, bagaimana gembiranya saat
produk yang ia jual dibeli. Atau, betapa pahitnya saat produk yang ia jual ditolak.
Lebih pahit lagi bila ia sampai dicaci maki pelanggannya. Oke, yang ini lebai…he-he-he.
Semua itu pastinya menjadi pelajaran. Lewat
pengalaman-pengalaman tersebut, si sales bisa menjadi lebih hebat. Bisa
mempelajari psikologis pelanggan. Apa yang mereka suka, dan mana yang tidak.
Otomatis, mestinya ia meningkatkan keterampilan marketingnya pula.
Demikian pula di ranah menulis, khusus bagi mereka yang suka
menulis, atau juga penulis. Bagaimana
perjalanan tulisan yang pertama Anda buat? Bagaimana rasanya –pengalaman
menuliskan itu? Apa yang Anda lakukan sesudahnya? Menyimpannya di HD komputer saja,
atau mengirimkannya ke media massa? Atau mungkin ke lomba penulisan?
Nah, bila Anda mengirimkannya, apakah karya Anda diterima
atau ditolak? Jika karya Anda diterima, bagaimana rasanya? Berapa honor yang Anda
dapat? Apakah Anda cukup bangga dengan tulisan itu? Sebaliknya jika karya Anda
ditolak, bagaimana rasanya? Apakah Anda sempat trauma, berhenti menulis
beberapa waktu, karena karya itu ditolak. Atau Anda terus menulis?
Whew. Saya bisa mengajukan banyak pertanyaan jika itu sudah
tentang tulis menulis, he-he-he.
Coba Anda bayangkan? (Selamat membayangkan, ha-ha-ha). Jika
pengalaman-pengalaman itu Anda tuliskan. Ya, jika Anda memang menganggap
pengalaman itu ialah guru. Bukankah ada hikmah-hikmah yang terangkai di
dalamnya? Kenapa tidak menuliskannya? Membagikannya bersama orang-orang lain
yang ingin belajar dari pengalaman Anda.
Dan saya, jujur, tidak terlalu terpengaruh dalam anggapan
–kecemasan, bagaimana kalau pengalaman-pengalaman kita terlalu biasa. Tidak
terlalu hebat untuk ditulis atau dipaparkan?
Saya yakin, setiap orang memiliki pertimbangan yang hebat
dalam memilih jalur hidupnya. Apa yang ia geluti. Apa yang akhirnya membuat ia
menyukai bidang itu dan mau memperjuangkannya? Bagi saya, itu sudah menjadi hal
yang hebat.
Di sini saya mencobanya. Di sini saya hadir dengan
tulisan-tulisan saya tentang pengalaman menulis. Dan syukurnya, beberapa teman
saya menganggap, pengalaman yang saya tulis tidak terlalu buruk. Ada yang
senang membacanya. Mereka yang bahkan belum menyukai menulis. Atau, menyenangi
menulis, tapi selalu beralasan hingga akhirnya selalu gagal menulis. Gagal
menuliskan tulisan yang utuh. Untuk mereka pula tulisan-tulisan ini saya
lahirkan. Halah, So’ so’an. Hi-hi-hi.
Maaf bila apa yang saya paparkan terlalu vulgar. Saya hanya
ingin menyampaikan, kalau seorang penulis wajib memotivasi dirinya sendiri.
Bagaimana caranya? Cukup dengan menulis. Kita tak pernah tahu kan? Seberapa
besar pengaruh hikmah-hikmah yang terangkai dalam pengalaman kita, sebelum itu
dituliskan, dibaca, dan akhirnya menjadi pembelajaran bagi yang lain. Mari
memangkas kecemasan menulis dengan menulis. Mari merangkai hikmah, menuliskan
pengalaman.
*) Penulis adalah
anggota FAM Banjarbaru, Kalimantan Selatan, nomor ID FAM 1047 U.
Sumber: http://famindonesia.blogspot.com/2012/09/merangkai-hikmah-menuliskan-pengalaman.html