Penggunaan Awalan “di”, Kesalahan yang Sering Terlupakan
Sejak kelas 4 SD saya sudah diajarkan mengenai penggunaan
imbuhan awalan di- dan kata depan “di”. Imbuhan awalan di- berfungsi jika
dilanjutkan dengan kata kerja; seperti makan, buang, dan lihat; menjadi
dimakan, dibuang, dan dilihat.
Banyak dari kita sering salah menulis kata dengan penggunaan
awalan di-. Di mana letak kesalahannya? Kesalahannya terletak ketika (sadar
atau tidak kita menulis) awalan di- dipisah dari kata kerjanya; seperti di
makan, di buang, dan di lihat.
Tentu saja pemisahan awalan di- dari kata kerjanya adalah
salah karena “di” yang bisa dipisahkan dari kata berikutnya adalah kata depan
“di”. Contohnya: di sana, di rumah, di kandang.
Lain lagi ceritanya jika diakhiri dengan akhiran, misalnya:
dirumahkan, dikandangkan. Jika kata tempat diapit oleh imbuhan awalan dan
akhiran serta kata itu akhirnya membentuk kata yang menunjukkan tindakan, maka
“dirumahkan” adalah betul dan “di rumahkan” adalah salah.
Kesimpulannya, awalan di- ditulis tidak terpisah dari kata
kerja yang mengikutinya, dan kata depan “di” ditulis terpisah dari nama tempat
yang mengikutinya.
Jika kita menulis dilihat secara terpisah menjadi “di lihat”,
saya mau bertanya di mana sih “lihat” itu berada? Jika memang ada tempat
bernama ‘lihat’ pun, kita telah melupakan hukum Bahasa Indonesia yang lainnya.
Nama kota, negara, sungai, danau dsb (tempat-tempat geografis) haruslah diawali
dengan huruf kapital.
Mungkin ada yang berpikiran bagaimana dengan awalan ke- dan
kata depan “ke”? Saya berani jamin peraturannya sama seperti hukum awalan di-
dan kata depan “di’.
Memang lain ladang lain belalang, lain orang lain gaya
penulisan. Ada yang kaku, ada yang berupa laporan, ada yang santai, ada yang
refleksi, dan lain sebagainya. Tapi bukankah Bahasa Indonesia yang kita gunakan
di sini sama?
Sekadar bercerita, di kamar kecil sebuah kantor yang pernah
saya kunjungi ada selembar kertas dipajang di dinding. Kertas itu berbunyi
“Habis kencing jangan lupa di siram”. Lalu saya mengadu kepada pemilik kantor
tersebut bahwa penulisan “di siram” itu salah. Hingga hari ini, aduan saya
tidak pernah digubris. Apa susahnya sih peduli sedikit sama bahasa kita?
Dulu seingat saya di zaman Orde Baru (saya masih kecil saat
itu), jarang ada penulisan yang salah. Jangankan dulu, sekarang di Malaysia
dengan Bahasa Melayu-nya yang struktur penulisan awalan di- dan kata depan “di”
sama dengan kita saja jarang ada yang salah. Kenapa? Di Singapura yang hanya
25% penduduknya masyarakat Melayu saja penggunaan di- dan “di” kebanyakan betul
semua. Kenapa?***
[sumber: Markusb - http://www.kompasiana.com/markusb]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar